Home DIALOG Seni Kolase NandangGawe: Akrobat, Badut, dan Sirkus Tubuh

Seni Kolase NandangGawe: Akrobat, Badut, dan Sirkus Tubuh

0

“Perversion” adalah tajuk pameran Nandanggawe. Ia membuat metapora dalam kolase sehingga multi interpretasi.

SENI.CO.ID – Dalam rangkaian event  Bandung Art Month yang diselenggarakan oleh BDG CONNEX, SENI.CO.ID berhasil merangkum catatan ekslusif di Rumah Budaya Rosid (RBR) pada pembukaan Pameran Tunggal Nandang Gumelar Wahyudi atau lebih dikenal  Nandanggawe. 

Bertajuk “Perversion” pada 2 Agustus 2018, kita disuguhkan pengantar berupa orasi singkat dari Hikmat Gumelar dan Performance Act dari Teater Payung Hitam Rachman Sabur dengan sajian Ziarah Tubuh. Pameran yang dikuratori Heru Hikayat ini berlangsung sampai 15 Agustus 2018.

Menurut Heru Hikayat bicara tentang Nandanggawe adalah membicarakan tentang godaan keindahan. Baginya teknik kolase yang diangkat adalah sebagai strategi yang menonjolkan kecenderungan Nandanggawe pada ihwal bentuk yang tidak tertib, karena ketertiban tidak mungkin jika tidak ada keteraturan.

Teknik kolase, salah satunya berarti menghadirkan bentuk tanpa keterkendalian dari seniman. Potongan kertas atau serpihan warna yang entah berasal darimana, entah dengan sejarah apa, menyatu di atas bidang gambar. Bentuk pada karyanya juga selalu digoda oleh anasir asing. Ia mudah sekali menjadi ‘chaos’ atau tak terkendali dan bisa dikatakan tidak menjadi indah.

Nandanggawe bisa disebut setia dengan bentuk tubuh sekalipun pada karyanya bisa menjadi sangat ganjil atau bahkan menjijikan tapi tidak sampai terkesan ‘grotesque’. Dalam hal ini Nandanggawe tetap mempersoalkan ihwal keindahan, sekalipun mengundang berbagai anasir asing atau mahluk yang ganjil, apa yang dibayangkan indah tetap hadir dan menahan berbagai unsur buruk itu tidak terlalu merajalela.

Heru Hikayat mengusulkan pada Nandanggawe agar dalam pameran ini, ia tidak hanya menampilkan karya yang telah dianggapnya tuntas dan terbingkai. Ada tantangan lebih seandainya publik diajak untuk ikut dalam proses penataan kertas-kertas bahan kolase, terpampang bagaimana sebuah komposisi datang dari paduan berbagai bidang yang tadinya tidak ada hubungannya sama sekali, sehingga membuat pameran ini menjadi lebih menarik.

ng3Nandanggawe, termasuk seniman yang tidak banyak cakap, lebih suka menyerap, menyingkap dan mengungkap dengan bahasa visual. Sebagai seniman dan juga sekaligus Dosen dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini lebih senang disebut sebagai Tukang Kebun. Baginya dunia ini penuh dengan sirkus yang penuh bermacam-macam badut, pemain akrobat dan tukang sulap. Tubuh, itulah yang dominan dari karya-karyanya tetapi bukan tubuh yang indah, molek dan semok. Tubuh-tubuh yang digambarkan itu seakan terjebak dalam identitas yang bersaing sengit untuk menjadikannya sekedar alat. Tubuh-tubuh itu jadi terasa menyodorkan yang konyol dan horor. Karya-karyanya terkesan sebagai penziarahan terhadap tubuh dengan caranya sendiri yang unik. Karya-karyanya pula seperti semacam ajakan untuk bercakap ihwal ziarahnya atas tubuh dalam dunia yang seperti sirkus ini.

ng2Secara historis, kajian tentang tubuh mengalami pasang surut seiring dengan berjalannya waktu. Tubuh dipahami bukan semata-mata sebagai jasad, yang kasat mata, namun sebagai produk konstruksi sosial yang senantiasa berubah-ubah mengikuti pandangan masyarakat dan waktu tertentu.

“Perversion” dalam karya-karya Nandanggawe bisa jadi dianggap sebagai perilaku atau keinginan seksual yang dianggap tidak normal atau tidak dapat diterima, juga menyangkut pemutarbalikan atau perbuatan yang tidak wajar. “Perversion” selain laku tubuh juga menjadi gaya hidup, fashion misalnya ‘fetish’, sebagai realitas yang berlapis dan bertumpuk antara fakta dan fiksi. Berbicara tentang “Perversion” sepertinya tidak luput dari soal-soal seks dan kekuasaan, kedua hal tersebut yang sebenarnya tidak terpisahkan.

Bagaimana peradaban kita terbentuk seks dan kekuasaan ini adalah penggerak utama yang mendorong perubahan. Setidaknya, itulah yang disampaikan oleh filsuf Perancis bernama Michel Foucault. Kekuasaan adalah seks, seks adalah kekuasaan. Bagi Foucault, bagaimana kronik kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pemahaman tentang seksualitas.

Apakah yang diungkapkan oleh Nandanggawe dalam “Perversion” ini mungkin ada hubungannya dengan Foucault yang mengatakan, di dalam tubuh terpampang wujud dari kekuasaan. Kita bisa menyaksikan kekuasan dari gerak-gerik tubuh. Bagaimana Nandanggawe mengintervensi persoalan tubuh, khususnya seksualitas dengan kehadiran tubuh-tubuh ‘androgyny’, seksualitas tanpa gender. Seksualitas berhubungan dengan populasi, berhubungan pula dengan kebebasan dan juga pernyataan politis seseorang.

Apakah pada karya-karya Nandanggawe itu ada represi terhadap tubuh, dan represi itu adalah bentuk dari kontrol. Kekuasaan bekerja dengan cara mengkontrol, dan tubuh-tubuh pada karya-karya Nandanggawe adalah objek yang dikendalikan, dikuasai dan bagaimana ia memahami “Perversion” yang bisa saja berhubungan dengan seksualitas.

Apakah tubuh-tubuh ‘androgyny’ dari Nandanggawe dalam”Perversion” itu selalu diperlawankan dengan kesucian dan keindahan? Memang soal gairah seksual itu seringkali dianggap menjerat manusia di bumi dan menjauhkan manusia dari Tuhan. Tubuhlah penyebab dari kesengsaraan manusia, tubuh yang menyebabkan dosa. Terhadap anggapan ini, Foucault menjelaskan bagaimana tubuh adalah alat bagi penanaman nilai-nilai moral di dalam aktivitas beragama. Akan tetapi, tidak semua agama menyatakan bahwa tubuh adalah beban yang menjadikan manusia selamanya terhukum menjadi pendosa.

ng1Terdapat pula keyakinan-keyakinan yang menempatkan tubuh justru sebagai aparatus untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan. Relasi seksual bukan lagi relasi demi alasan prokreasi, atau mencari kepuasan yang dangkal. Tubuh direduksi sebatas fungsi-fungsinya saja, seperti suatu perlengkapan yang mekanistik. Ia juga menyatakan bahwa pengetahuan kita tentang seks sarat dengan prasangka. Padahal, baginya, tidak cukup kita memahami tubuh dan perilaku seksual semata-mata melalui narasi ilmu pengetahuan. Relasi seksual adalah suatu pengalaman.

Suatu peristiwa yang menempatkan seseorang pada ruang dan waktu yang spesifik. Sebuah momen ketika seseorang sungguh-sungguh merasakan denyut kehidupan. Sensasi semacam ini, tidak dapat dirasionalisasikan. Bagi Foucault, relasi seksual adalah suatu seni, seni yang erotis. Relasi seksual hanya dapat dipahami seperti halnya kita mengalami sesuatu yang estetis, ada intensitas, keterlibatan emosi, rasa haru atau senang. Foucault mengingatkan bahwa, meski manusia diunggulkan akal budinya, tetapi ia juga makhluk yang mengejar kenikmatan, yang secara alamiah memang mencari kepuasan ragawi.

Terus terang apakah pisau bedah analisa dari Foucault ini layak dan sesuai untuk “Perversion” ini juga masih perlu dikaji dan dipertanyakan kembali, atau bisa saja memang perlu kita kesampingkan untuk lewat begitu saja. Yang jelas Nandanggawe menyatakan sejak awal dan sampai sekarang ia berkarya itu seperti diary, self journal, bebas, baginya setiap orang punya caranya sendiri dengan bahasanya yang paling personal, tidak peduli orang harus mengerti. Seperti menulis buku harian, tapi lupa suka kebablasan, bukunya kekecilan, atau lalu bukunya tertinggal, lupa menyimpan dll. Catatan harian pun menyebar kemana-kemana. Tapi kemudian Nandanggawe juga punya ruang jeda untuk mengamati serakan “catatan” itu.

“Perversion” muncul sebagai teori, alat bantu, untuk melihat gejala kecenderungan yang menyimpang, dan baginya hal itu relevan dengan kelindan kehidupan saat ini, tak terkecuali juga dalam perilaku seni dan karyanya. Nandanggawe menyadari, dan lalu menjumputnya, untuk kemudian “Perversion” itu seolah jadi sandaran konseptual, sekitar 2011an setelah ia pameran drawing tunggal di Galeri Soemardja ITB dengan tajuk “The Ugliness”.

Mungkin saja risalah Louis J. Kaplan sebagai intelektual feminis dapat juga kita kaji, kecemburuan terhadap penis dan anorexia sebagai bentuk kontrol dan kekuatan. Stereotip peran gender adalah pengalaman yang mencerahkan tentang seksualitas, fetisisme, stereotip peran gender (dan arketipe), dan bagaimana masyarakat (serta lingkungan keluarga) dapat membentuk orang-orang kecil yang tersembunyi yang mendorong dan membentuk individu.

Dari menelanjangi dan menguraikan teori-teori seksis Freud mengenai perempuan, mendekonstruksi pahlawan pelacur karangan Gustave Flaubert tentang Emma Bovary dari novelnya “Madame Bovary,” untuk penugasan kita sendiri dan pencetakan perilaku “khusus gender” pada anak-anak kita sejak awal usia, ini hanya beberapa dari subyek yang Louis J. Kaplan yang mendiskusikan secara mendalam dan panjang mengenai tindakan (atau premis) dari orang-orang yang tampaknya mengisi di pinggiran di luar “norma” dari apa yang dianggap perilaku masyarakat “dapat diterima”.

Sebetulnya bagi Nandanggawe tidak ada seorang pun seniman atau siapapun yang menjadi rujukannya dalam berkarya.

Walaupun begitu pengaruh apa dan siapa yang membawa Nandanggawe untuk mengambil keputusan terhadap tema tersebut dan juga mengaktualisasikan ke dalam bentuk karya yang secara umum dipandang bisa jadi kurang komersil, itu juga yang menjadi pertanyaannya secara pribadi, sampai sekarang ia merasa tak punya idola.

Tapi ia belajar dari banyak seniman, mungkin banyak dipengaruhi juga tapi tidak spesifik. Belakangan ia mencari terutama yang menghubungkan soal tema dan tekniknya yg mengikat dari sisi konsepsi/ ideologi keseniannya. Muncullah nama Orlan, Anagret Soltau dan juga Geoffrey Farmer. Sayangnya ia sebenarnya belum pernah bertemu mereka secara langsung. Mereka tidak secara langsung mempengaruhinya, tapi ia merasa ada teman, padahal tidak kenal. Nandanggawe tidak ambil pusing soal komersil atau tidak, juga kebalikannya soal “idealis” atau tidak itu juga tidak menjadi pikirannya.

Sebelum masuk ISBI Bandung, Nandanggawe sudah menjadi seniman independen dan juga tergabung dalam komunitas Gerbong Bawah Tanah yang juga menjadi catatan penting dalam perjalanannya, sampai akhirnya memutuskan untuk keluar karena ia tidak menemukan buku harian yang kosong yang bisa ditulis lagi disana. Kemudian berikutnya ia mendirikan “Invalid Urban”, sampai dengan episode experimental yang tanpa batas, saking tanpa batasnya di Invalid Urban kami tidak takut kalau harus bubar. Selain Invalid Urban, ada banyak yang mempengaruhi Nandanggawe di Indonesia dan di luar negeri, tapi tidak ada yg khusus walaupun secara jujur ia juga mengakui belajar pada banyak hal, pada banyak orang, bukan hanya seniman.

Dilihat dari luar kalau Nandanggawe itu berlaku sebagai Dosen atau pengajar kebanyakan yang berperilaku normatif, tapi ia juga dekat kepada para mahasiswanya dan berlaku sebagai seorang kakak, akan tetapi saat melihat karya-karyanya, kita akan mendapatkan kejutan akan keliaran, paradoks dan kontradiktif. Nandanggawe mengakui bahwa dirinya dipengaruhi juga oleh banyak hal/orang. Dari situ pula konsep kolase mulai menyusup. Tidak sekedar ihwal teknik, tapi juga cara pandang. Lagi-lagi ia menyatakan bahwa dirinya itu adalah Tukang Kebun yang tak punya kampung halaman apalagi kebun.

Soal wajah-wajah, proporsi-proporsi dan gerakan-gerakan yang ganjil, pada karya-karya Nandanggawe sepertinya ini satu temuan tersendiri. Hal ini terhubungkan dengan serial Ndankenstein. Semacam apropiasi dari novelnya Marry Shelley: The Modern Promotheus, yg kemudian difilmkan dan populer dengan judul DR. Frankenstein.

Mungkin bisa saja dikatakannya bahwa Seniman modern atau pemikir/filsuf yang ia kagumi dan mempengaruhi dalam berkarya adalah Orlan, atau Joseph Beuys, atau Marchel Duchamp, atau Chamblis Giobbi atau bisa juga yang lainnya.

Sikapnya sebagai individu jika berurusan dengan “Perversion” itu menyatakan bahwa hal itu tak terelakan, ada disekitar kita, bahkan kita merayakannya. Melihat karya-karya Nandanggawe yang sangat spesifik dan diduga tidak komersil itu apa sekedar untuk katarsis atau sublimasi dari ‘passion’ terhadap fetish hal ini patut untuk dipertanyakan. Baginya ‘passion’ itu seperti ilmu gaib, disadari atau tidak dia memberi napas pada setiap gerakannya. Dan fetish selalu memiliki banyak wajah, yang sublim itu kadang sangat halus oleh karenanya ia seringkali tak tampak.

Nandanggawe melihat dirinya sendiri tidak masuk ke isme-isme semacam realisme, surealisme, ekspresionisme atau yang lainnya kecuali ia menyebutkan dirinya sendiri itu termasuk ke dalam isme, ‘Belangbluntal”. Sebagai pengajar seni Nandanggawe mempunyai harapan seperti apa seharusnya pengajaran seni di Indonesia itu harusnya dimasukan kurikulum Arttaqwa dan menurutnya pula harus ada Menteri khusus Kesenian.

Sebetulnya Nandanggawe mengatakan kalau ia sama saja dengan yang lain, tidak selalu bersemangat selamanya, kadang-kadang suka juga menutup semua buku harian, Tapi baginya, berkarya itu memang energi, daya untuk melakoni hidup. Melihat karya-karya Nandanggawe seperti belum selesai dan menyisakan kegelisahan yang tak berkesudahan, seperti melihat pertempuran di dalam diri sendiri untuk merasakan kekuatan dan sekaligus kesakitan dengan karyanya sendiri. Betul, ia juga merasakan keanehan pada karya-karyanya karena selalu ada yang tumbuh di sana, Itulah kenapa ia suka jika disebut Tukang Kebun.

Nandanggawe menggambarkan tentang diri dan karya-karyanya dengan kata-kata dari Rudolf Otto, “Mysterium, Tremendum et Fascinans”. Ideologi yang menjadi dasar dan latar belakangnya dalam berkarya adalah selain kata Rudolf Otto tadi, ia menyatakan ideologinya kalau itu memang ada ya Belangbuntal Art!

Nandanggawe menganggap dirinya sendiri itu tidak punya gaya jadi menurutnya santai sajalah untuk soal ini. Sekalipun begitu pengaruh dari musik, fashion, teater, sastra diakui juga mempengaruhinya berkarya, drama dalam karyanya juga seperti mengekspresikan kegelisahan juga puisi.

Di dalam hal memilih sebuah objek itu tidak ada yang khusus, tidak steril, tidak butuh konsentrasi yang mutlak, apakah itu gambar, lukisan, foto, film, instalasi, kolase, semua ada di lingkaran itu memberi dan berbagi, pun objek itu mesti jadi subjek juga, begitu pula kebalikannya. Sepertinya sama saja, pada dasarnya soal irama saja. Justru ia ingin dengar, masukan, kritik bagaimana kata orang lain terhadap hal itu. Nandanggawe banyak berkarya dengan cara atau gaya yang ganjil dan seringkali mendobrak norma-norma yang umum. Ia mengatakan jangan-jangan fetish-nya ada disini.

Pengalaman pameran yang paling berkesan, tadinya mau bilang tidak ada. Tapi takut dibilang tidak bersyukur, maka ia mengatakan, “Disorder Beauty” bersama Invalid Urban, di CCF Bandung, 2007. Nandanggawe tidak hidup dari penjualan lukisan, gambar atau karya seninya, tapi dari energinya, maksudnya jual daya.

Baginya menjadi seorang seniman itu tidak ada yang sulit dibandingkan menjadi seorang polisi. Bagi Nandanggawe nyatanya kolase itu serupa takdir, sejurus jalan yang niscaya, “Rahmatan Lil Alamin”, ia mempertemukan sekaligus menyatukannya. |nurdwi/SENI.CO.ID

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here