Home BERITA PASSSING BY Karya Sajak Visual dari Etza Meisyara

PASSSING BY Karya Sajak Visual dari Etza Meisyara

1
ATTACHMENT DETAILS Etza-Meisyara-dkk-menyanyi-dan-bermain-musik-dalam-sambutan-Pameran-Tunggal-PASSING-BY-di-galeri-Lawangwangi-Creative-Space/ND

SENI.CO.ID – PASSING BY, adalah judul pameran tunggal pertama Etza Meisyara. Ia adalah putri kedua seniman Tisna Sanjaya yang sudah menyelesaikan pendidikan Magister Seni Rupa ITB, Etza juga merupakan salah satu pemenang kompetisi “Bandung Contemporary Art Award” (BaCAA#5), yang diselenggarakan ArtSociates – Lawangwangi Creative Space tahun 2017.

Seniman muda ini selain berkarya seni rupa kontemporer dengan kekuatan riset yang baik, juga sehari-harinya banyak mengeksplorasi musik tematik. Karya-karya dalam pameran tunggal PASSING BY menyajikan 25 karya seni grafis dengan material logam. Material karya seni yang biasanya digunakan sebagai negatifnya dari hasil cetakan di atas kertas. Pelat tembaga tersebut menjadi karyanya untuk di eksplore. Selain itu ia menyajikan karya instalasi pengeras suara yang berisi rekaman-rekaman suara orang asing yang ditemuinya selama mengembara di Islandia, Inggris dan Jerman sejak dua tahun terakhir ini. Karyanya merupakan akumulasi dari proses kreatif melalui pengamatan langsung terhadap orang-orang asing, imigran dan pelintas batas yang ditemuinya di benua Eropa.

etsa1 etsaAda dua puluh lima karya dua dimensional yang dikerjakan dengan teknik grafis menggunakan medium tembaga,  memuat gambar-gambar figur dalam bentuk bayangan orang-orang asing, imigran dari Timur Tengah, serta corak abstrak di dalamnya. Ada juga dua karya instalasi seni suara (sound art) juga menambah artikulasi personal terhadap pengalaman sublimatif yang terurai pada rekaman suara orang-orang asing yang ditemuinya selama melakukan perjalanannya di Eropa. Juga karya ‘video art’ yang menegaskan pokok soal dalam karya-karya yang dipamerkan ruang galeri Lawangwangi Creative Space, Jalan Dago Giri No. 99 Bandung sejak 26 Juli- 26 Agutus 2018.

Karya terkesan melankolis ini, banyak menyoroti persoalan rasa dan subjektif dari Etza Meisyara sendiri. Ada kesedihan, kebingungan, keterasingan diri, ‘personal territory’ border, kemegahan kota. Semua rasa yang muncul itu menjadi persoalan sublimatif, bertransformasi pada harmoni komposisi bunyi melankolis muncul ke permukaan dari fragmen serpihan-serpihan fakta kemanusiaan hari ini yang ia temui sebagai pendatang.

PASSING BY dari Etza . Karya-karya ini penting untuk di apresiasi karena konten kekaryaan serta tema kemanusian universal dan global yang ditampilkan secara puitik dan artistik. Bahasa rupa yang lahir menyoroti perilaku-perilaku manusia di medan sosial tertentu, sebuah ruang baru bagi pelintas batas.

etsa5 etsa4 etsa3 etsa2Kurator Dony Ahmad menyatakan meski perjalanan Etza hanya sekadar melintas, namun pelajaran berharga tentang toleransi dan empati kepada orang-orang yang baru ditemui dan dikenalinya tentu bisa menjadi makna yang melampaui perjalanannya disana. Etza menuangkan kesan-kesan melankolis dari lingkungan yang asing ke atas pelat-pelat tembaga berisi citra yang dingin. Karya-karya pada pameran ini mengajak kita untuk ikut menghayati rasa haru dari perjalanan Etza dan memaknainya menjadi kebijakan.

Masih kata Dony  Etza adalah seniman yang lebih ‘inward looking’ dalam membuat karya-karyanya. Tentu saja ada dorongan dari luar dirinya seperti pada saat ia berhadapan dengan imigran-imigran diantaranya dari Syria yang mempengaruhi karyanya. Akan tetapi justru dorongan terbesarnya justru berasal dari sensibilitas subjektif dari dirinya sendiri.

“Sensibilitas ini terpicu dan dipicu oleh banyak hal, seperti saat ia berpergian sendirian, menyepi, bertemu imigran, tunawisma, sepasang kekasih di jalan, bisa juga terenyuh oleh bentang alam dan arsitektur kota-kota di Eropa. Sensibilitas inilah yang kemudian condong mengerucut pada ungkapan yang spesifik: Melankolia. Kecenderungan ini berkebalikan dan berbeda dari seniman yang ‘outward looking’ seperti misalnya ayahnya sendiri, Tisna Sanjaya yang cenderung Koleris Sanguinis, yang lebih spontan dan mengangkat suatu isu kontekstual yang dirasa menjadi persoalan zamannya, ‘zeit geist’, semangat zaman,”jelasnya.

Pameran ini bisa menunjukkan luasnya spektrum sensibilitas manusia tanpa perlu dibatasi sebuah isu geopolitik. Melankolia bahkan bisa muncul dan dirasakan oleh audience pameran ini tanpa mengangkat persoalan imigran sama sekali. Pertemuan dengan imigran hanyalah salah satu pemicu bagi melankolia yang dirasakannya, tidak berbeda dari hamparan es di Islandia ataupun arsitektur stasiun kereta api di Liverpool yang juga bisa memicu perasaan yang sama, tambah Doni.

Etza juga menyatakan bahwa perasaan melankoli itu dihadirkan untuk jadi kekuatan baginya di dalam karya-karyanya. Perasaan yang muncul dari proses mengamati kehidupan. Kemudian, menjadi sublimasi pengalaman sebelum memutuskan membuat karya. Tembaga memiliki karakter yang kuat, ‘shining’, tetapi masih bisa keropos, berkarat karena oksidasi yang mewakili sisi haru. Hal ini menunjukkan bahwa entitas manusia memiliki sisi rapuh. Maka karakter medium Tembaga dirasa cukup oleh seniman untuk mewakili representasi karakter manusia-manusia asing yang ia temui atau sebagai wadah yang sublim.

“Karya-karya Etza Meisyara kemudian menjadi sajak visual yang lirih dalam menanggapi persoalan kemanusiaan global saat ini, dimana tak ada lagi perbedaan suku, agama dan ras yang mesti dipertentangkan. Etza adalah putri bangsa Indonesia yang hidup di dalam keberagaman yang kompleks. Selamat! ***

Reportase dan Foto-foto: Nurdwi                                                                            Editor : Aendra Medita 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here