Home LITERASI Longser Corong Penerang

Longser Corong Penerang

0

<!– ADOP SEO Tag S–> SENI – DAGELAN ala Longser, logika humor yang sering muncul: “Hayu ah urang lalajo longsor di gedong kasenian Dewi Asri ISBI-Bandung, rame geura!”

“Longsor?… Longser,  meureun!”

“Aaah…! Pira beda sahuruf wae, protes!”

“Mari kita kita nonton lonhsor di gedung kesenian Dewis Asri ISBI-Bandung, pasti rame!”

“Longsor?… longser,  mungkin!”

“Aaah…! Cuma beda satu huruf saja, protes!”

crgnTeater adalah susunan bentuk “seni” yang menggunakan lakon sebagai wujud ekspresinya. Dalam khazanah seni tradisional di Indonesia diketahui, bentuk teater tradisi merupakan kombinasi bentuk seni dari seni tari (ibingan), music (tabuhan), lagu (tembang/nyanyian), lakon (cerita) dan dagelan (Bodoran). Teater tradisi ini dulu banyak dijumpai di Negri ini, seperti: Makyong (Pontianak), Randai (Minang), Mendu (Riau), Lenong (Betawi), Longser (Bandung) dll.

Lonsger, teater tradisi kebanggaan urang Jawa Barat, Bandung khususnya. Dimana Berjaya di tahun 60-an dan sering “nabeuh” pentas di sekitar lapangan Tetallega Bandung, Stasiun Kereta Api Bandung dan sekitarnya yang dipimpin oleh para pendahulunya seperti Bang Tilil, Ateng Japar dll. Boleh dibilang nyaris gagal “re-generasi”. Kata lain dari “nyaris punah”. Berbagai cara dialkuan untuk revitalisasi oleh generasi selajutnya, namun senantiasa nihil. Mengapa? (mungkin untuk membahas ini diperlukan catatan tersendiri).

Disaat Longser sekarat, ada hal yang membanggakan, segelintir mujahid seni mendirikan “Paguyuban Longser Bandung” (PLB) yang digagas diantaranya (hanaya menyebut beberapa nama) oleh Mang Agus Injudk,  Mang Giri Mustika, Mang Wawan Aldo, Dkk. Sebagai upaya nyatanya mengadakan soft louncing PLB dengan mengelar Parade Lonser, pada tanggal 11 dan 12 April yl. Di GK. Dewi Asri ISBI-Bandung. Menampilkan Lingkung Seni Longser Injuk (judul, Doger Hanoman), digarap oleh Mang Agus Injuk, Kelompok Toneel Bandung (Judul, Budak Galau), oleh Mang Giri Mustika dan Wahana Satia Sunda dengan Longser Bocah-nya yg dikelola Mang Wawan Aldo. Dengan jawal pentas; siang, sore dan malam. Dan sangat ramai dikunjungi penonton dari bebagai kalang, tua, muda, mahasiswa dan pelajar. Terenyuh melihatnya!

Secara keseluruhan, suguhan pertunjukan Parade  Longser tersebut cukup menarik dan menjanjikan menjadi  alternative tontonan hiburan public. Namun bila kita berpegan pada patokan apa itu teater tradisi. (Seperti  telah dipaparkan pada paragraph pertama).  Bahwa senantiasa harus ada usur music, tarian, nyanyian, lakon dan dagelan. Begitu juga Longser. Akan pas disebut pentas Longser, bila unsur-unsur tersebut ada dan menyatu jadi satu kesatuan yang utuh dalam pertunjukan. Bukan sekedar syarat, asal ada. Yang akhirnya hanya sekedar tempelan. Dan yang tdak kalah penting dalam pentas Longser itu harus kuat dengan “spontanitas” (Ipropisatoris) dari acting para pemainnya. Selalu ada interaksi dengan penonton. Baik secara emosi saja, secara fisik saja atau secara emosi dan fisik. Pertunjukan dan penonton melebur. Hingga melahirkan pedristiwa Longser yang sesungguhnya. Seperti saat Bang Tilil tampil di Satasiun Bandung atau Ateng Japar ngampar di Tegallega. Nah! Esensi longser inilah yang masih terasa tampak samar dalam tampilan-tampilan Parade Longser tersebut. Tidak bermaksud membuat “re-kontruksi” Longser jadoel-jadoelan. Dan setuju denagn penampilan parade Logser itu. Menyuguguhkan Longser masa kini, disini dan untuk konsumsi public tedrkini. Baik secara tatanan dan unsur pentas. Tapi esensi  Longser, tetap patut dipertahankan.

Dapat dipahami bila esensi longser masih terasa samar dalam tampilan-tampilannya. Karena mayoritas actor (pemain) dan pendukung pentas lainnya (pemusik and penari)  adalah para debutan. Masih butuh terus diasah talentanya dan terus ditambah jam terbang pentasnya. Untuk mengkarol ini tampaknya butuh sarana dan prasarana latihan. Dan dibuka kesempatan untuk lebih sering berpentas.

Duloe pada zaman jayanya Longser sering dijadikan “corong penerang” oleh pemerintah.  Karena Longser punya sifat nontonan public yang bisa mengankat berbagai lakon/pesan. Bisa pentas dimana saja; di gedung, halaman parkit, taman, pasar, alun-alun, pinggir jalan dll. Juga dapat berpentas kapan saja; siang, sore dan malam. Seperti pada zaman “Gelombolan” kejahatan merebak.  Oleh intansi terkait longser dijadikan corong penerangan mengenai pentingnya “Siskamling” (Meronda).  Juga longser dijadikan corong oleh intansi lainnya; Pendidikan “Membermberantas buta huruf/ melek aksara”, Pertanian “Perlunya, sistim tanam tumpang sari”. Kesehatan “Pelumya ikut mensukseskan KB/Keluarga Berencana”.  Agama, “Toleransi beragama” dll.

Akhir kata, tidaklah berlebihan bila longser masa kini pun seperti  PLB itu dijadikan alternative menedia penerangan oleh intansi yang memerlukannya. Karena animo penonton, seperti pada gelaran PLB cukup luar biasa. Bolehlah “simbiosis mutualisme”. Pemerintah mendukung maeriil dan moril demi teater tradisi Longser kebanggaan Jawa Barat ini tidak lantas terus hilang digerus zaman. Selamat  untuk lahirnya Paguyuban Longser Bandung. Jayalah Longser! ***

GAUS  FM, Penulis Petualang Seni, tinggal di Bandung. Foto-foto: Herfan Rusando <!– ADOP SEO Tag E–> 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here