Home GALERI ⁠⁠⁠ENERGI SPRITUAL JEIHAN

⁠⁠⁠ENERGI SPRITUAL JEIHAN

0
Jeihan dalam demo melukis saat pembukaan pameran dan peluncuran buku / Foto Andi Soipiandi

SENI.CO.ID – “Puncak gerak, diam. Puncak tahu, tidak tahu. Puncak hidup, mati. Saya sudah mulai mengerti. Saya sudah mulai belajar diam. Saya sudah mulai tidak tahu. Dan sudah siap mati. Insya Allah dalam puncak kehidupan ini, saya menuju ke suwung. Sekian,” demikian ujar Jeihan di Studio Jeihan, Bandung, Kamis (1/6) malam, saat menutup pembukaan pamerannya yang bertajuk “SUFI/SUWUNG”, yang lalu oleh Benediktus Krisna Yogatama juga dijadikan penutup tulisannya yang “nendang” di Kompas (17/6).

Tulisan bertajuk “Menuju Puncak Tertinggi dalam Suwung” saya kata “nendang” karena, setidaknya hemat saya, berhasil dengan meyakinkan menggambarkan perjalanan Jeihan yang bertalian dengan pameran “SUFI/SUWUNG”. Di situ dikutip juga ujaran lain pelukis yang pada 26 September 2017 genap 79 tahun ini, yakni ujarannya ihwal sufi dan suwung: “Sufi adalah usaha manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Jika sudah demikian, rasanya suwung.”

Perihal Suwung, Prof. Jakob Sumardjo, yang pula tetangga dan sahabat dekat Jeihan, mengucap, “Suwung artinya ada dalam ketiadaan. Mungkin bagi orang lain seperti tidak melihat ada sesuatu. Namun, sebetulnya ada, tetapi tidak kelihatan saja. Sesuatu yang sebetulnya ada dalam kondisi tidak ada.”

Saya rasa Jakob tepat mengatakan kondisi Jeihan kini seperti yang dia katakan. Jeihan kini tampak ada dalam tiada.

Kondisi demikian tentulah tidak ujug-ujug dicapai. Pencapaiannya berlangsung dalam rentang waktu dan pergulatan yang panjang. Bahkan ini sangatlah mungkin sudah dimulai dari saat Jeihan berusia 4 tahun, setelah terjatuh yang mengakibatkan tulang lehernya mendesak otaknya dan karenanya saat itu dokter mendiagnosa Jeihan akan buta huruf selama 14 tahun. Sejak itu sakit menjadi bagian yang melekat kepada hidup Jeihan. Sakit yang melekatinya bertambah sejak hampir sepuluh tahun lalu. Dan ini adalah ginjal. Sejak hampir sepuluh tahun silam Jeihan hidup dengan salah satu ginjal baru, yang karenanya tiap tiga bulan sekali Jeihan mesti terbang ke Singapur untuk berobat.

Dalam sejumlah percakapan, saya dengan mendengar Jeihan berujar bahwa sakit yang melekatinya tersebut menjadikannya terus menerus belajar menerima dan mengakrabi keterbatasan diri hingga kemudian sakit itu malah berkembang menjadi sang pemberi harapan. Dan harapan membuatnya bergerak dengan cepat, tangkas, dan kreatif untuk mewujudkannya. Ketika upaya ini belum berbuah, Jeihan tidaklah menyerah. Jeihan terus jungkir balik melanjutkan dan meningkatkan upayanya. Dan ketika mulai berbuah, buahnya tidak hanya dimakannya sendiri.

Masa-masa awal perkawinannya dicengkeram kesukaran finansial. Terlebih ketika dari perkawinannya mulai lahir anak. Kesukarannya bertambah. Namun upayanya juga bertambah keras dan kreatif. Tidak heran jika lukisan-lukisannya mulai laku. Yang mungkin mengherankan untuk sejumlah orang ialah perihal pemakaian hasil penjualan lukisan-lukisan itu. Dengan kondisi ekonomi yang bisa dikata baru pas-pasan, Jeihan menjadikan rumahnya di Cicadas, Bandung, tempat mangkal kaum seniman. Mereka bukan saja para seniman berbagai bidang dan dari Bandung, tapi pun dari Jakarta, Jogja, dan kota-ota lain lagi. Tentulah seniman seperti pelukis Nashar, sastrawan Hamsad Rangkuti dan teaterwan seperti Ikranagara yang datang dari Jakarta datang ke rumah Jeihan tidak untuk langsung kembali. “Mereka biasa nginap berhari-hari,” ujar Jeihan. Ini jelas berarti biaya rumah tangga bertambah. Tapi Jeihan dan istrinya sama sekali tak mengeluhkan itu. Pun ketika rumahnya juga jadi “kantor” surat kabar “Mahasiswa Indonesia”.

Cara demikian rupanya kemudian makin menjadikan Jeihan berdada lapang, egaliter, dan terbiasa menerima berbagai sudut pandang. Dan ini menjadikannya makin terbiasa, meminjam perkataan Nietzsche, berkata iya kepada dunia. Inilah agaknya salah satu pemungkin Jeihan terbiasa mememandang dirinya ada dalam kenyataan yang kompleks, dan terbiasa mengusutnya dengan perenungan yang luas dan dalam.

Dari situlah mungkin muasal pikiran seperti yang diujarkannya, “Mata melihat tetapi sebetulnya seperti tidak melihat. Manusia tidak tahu apa yang akan dialaminya.”

Pemikiran demikian tampak bukan saja menghuni benak Jeihan, tapi pun merasuki jiwanya, hingga pikiran itu diyakininya. Inilah, dugaan saya, rahim yang melahirkan mata berlubang pada lukisan-lukisan figur Jeihan. Mata berlubang atau mata hitam di lukisan-lukisan figurnya itu terasa membetot ke dalam, membetot jauh ke dalam palung lautan tak berdasar. Dalam pengertian itulah, bagi saya, lukisan-lukisan figur Jeihan lebih dari lukisan-lukisan figur kebanyakan, melainkan bersifat, untuk tak mengatakan hakikatnya, simbolik. Dengannya lukisan-lukisan figur Jeihan menjadi simbol-simbol yang terasa menautkan dengan gagasan-gagasan yang luas, dalam dan fundamental, yang sekaligus berarti menghadirkan sublimitas kehidupan dan nilai-nilai tak terpermanai dari keberadaan manusia.

Kecenderungan tersebut semakin terasa ketika saya melihat lukisan-lukisan abstrak Jeihan yang dipamerkan dalam “SUFI/SUWUNG”. Terlebih saya beruntung kali pertama melihatnya tiga hari sebelum pembukaan pameran. Suasana ruang pameran saat itu lengang. Waktu juga terasa menggenang. Seri lukisan yang bertajuk “Suwung” jadi terasa leluasa dan apa adanya menghadirkan pergulatan spritual Jeihan melalui terutama melalui komposisi warna yang auratik, yang menyeruak terbit dari entah. Banyak lukisan abstrak biasanya berhenti memanjakan mata belaka. Lukisan-lukisan abstrak Jeihan terasa melampaui itu, terasa menyusup ke balik dada, merasuk ke dalam jiwa, membawa keluar dari ruang waktu keseharian yang profan. Saya diam-diam merasa membubung terbang. Mengalami sesuatu yang lain. Dan kemudian merasa terlahir kembali sebagai manusia baru.

Saya tidak tahu adakah yang saya alami itu masuk kategori suwung atau tidak. Hanya saja, jika memang demikian, berarti suwung dalam pameran itu bukan semata tajuk, melainkan energi spritual Jeihan. Dan energi spritual Jeihan itu mengalir melampaui bingkai-bingkai, mengalir menghampiri, memasuki dan mengisi rongga-rongga hati yang menghampiri dan memasukinya. Karena itu, setidaknya untuk saya, lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam “SUFI/SUWUNG” itu jadi tampak sebagai lukisan-lukisan yang tidak sebanding dengan dirinya masing-masing. Lukisan-lukisan itu tidak hanya menampakkan arti dirinya belaka, melainkan menghadirkan makna-makna yang jauh di atas lukisan-lukisan atau seni itu sendiri.

Saya kira begitulah memang idealnya seni, menyuntikkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya, memungkinkan baik krea tor maupun apresiatornya mengalami transendensi. | HIKMAT GUMELAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here